Khawatir Terjadi Konflik Akibat Ulah Arif La Awa, Warga Kawasi Minta Aparat Hukum Turun Tangan

KAWASI – Ulah Arif La Awa yang asal-asalan mengklaim tanah tak hanya membuat warga resah, tapi juga berpotensi memantik konflik dengan warga asli Kawasi di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara. Karena itu, warga pun meminta aparat hukum untuk segera turun tangan agar masalah tidak makin runyam.

“Kami selama ini diam saja karena tidak mau ada konflik. Tapi, kami ingin agar penegak hukum turun tangan dan menyelesaikan masalah ini. Kami tidak mau ada persoalan di tengah-tengah masyarakat,” tegas Saidi Joronga, warga asli Kawasi.

Menurut Saidi, Arif La Awa pernah mendatangi dirinya dan warga lainnya untuk menjual tanah mereka melalui perantara Arif La Awa. Padahal, tanah tersebut sebelumnya sudah dijual ke pihak lain.

Rupanya, Arif La Awa menjanjikan apabila nanti tanah tersebut laku dijual lagi, mereka akan diberi bagian uang oleh Arif La Awa yang berperan layaknya makelar atau perantara.

Beruntung, Saidi dan warga lain tegas menolak ajakan tersebut karena khawatir bakal terjerat hukum karena melakukan penipuan dengan menjual tanah yang sudah bukan lagi milik mereka. “Saya takut akan diproses hukum jika ikut maunya Arif La Awa. Makanya ajakan dia saya tolak,” kata Saidi.

Menurut pria berusia 61 tahun yang lahir dan besar di Kawasi itu, tindakan yang dilakukan Arif La Awa tersebut patut diduga merupakan bentuk praktik mafia tanah. Apalagi, Arif La Awa juga mengklaim tanah milik orang lain sebagai tanah miliknya untuk kemudian dijual. Hal semacam itu tentu membuat resah warga dan berpotensi memantik konflik horizontal apabila tidak lekas ditindak.

Keresahan yang sama akibat ulah Arif La Awa juga dirasakan Hamja Lewer. Tokoh masyarakat Desa Kawasi ini mengakui, kelakuan Arif La Awa yang mengklaim tanah seluas 15 hektare sangat tidak masuk akal. Sebab, sebagian besar warga Kawasi, bahkan yang sudah bermukim lama sekalipun, paling luas memiliki tanah sebatas 2 hektare.

“Semua batas-batasnya saya tahu karena saya lahir dan besar di Desa Kawasi ini sejak 1949. Jadi batas-batasnya dari dara (darat) berbatasan dengan siapa, sampai lao (laut) saya tahu semua,” tegas pria berusia 75 tahun tersebut. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *