Indonesia dinilai memiliki cadangan nikel hingga miliaran ton, bahkan menjadi pemilik cadangan nikel terbesar di dunia. Oleh karena itu, wajar bila Indonesia memiliki cita-cita besar menjadi raja baterai dunia di masa depan.
Adapun untuk membuat raja baterai, bijih nikel yang dibutuhkan yaitu bijih dengan kadar logam rendah atau di bawah 1,7% (limonite nickel). Melalui penerapan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL), nikel kadar rendah ini bisa diolah menjadi bahan baku komponen baterai berupa Mix Sulphide Precipitate (MSP) atau Mix Hydroxide Precipitate (MHP).
Bukan hanya sekedar mimpi raja baterai, RI sudah selangkah lebih maju dengan memiliki sejumlah daftar proyek bahan baku komponen baterai ini. Bahkan, tak tanggung-tanggung, jumlah investasi untuk sederet proyek bahan baku baterai ini diperkirakan mencapai US$ 6,25 miliar atau sekitar Rp 91 triliun (asumsi kurs Rp 14.500 per US$).
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), jumlah investasi tersebut berasal dari enam proyek smelter HPAL yang kini tengah dibangun. Diperkirakan, proyek ini membutuhkan bijih nikel hingga sekitar 32 juta ton per tahun.
Berikut daftar enam proyek smelter HPAL tersebut:
- PT Kolaka Nickel Industry
Statusnya saat ini sedang studi kelayakan atau feasibility study (FS). Diperkirakan akan memproduksi 40 ribu ton per tahun Mix Sulphide Precipitate (MSP) dengan kebutuhan bijih nikel sekitar 3,65 juta ton per tahun.
- PT Huayue
Saat ini smelter tersebut sedang dalam tahap konstruksi. Direncanakan akan memproduksi 70.000 ton per tahun Mix Hydroxide Precipitate (MHP) dengan kebutuhan bijih nikel sekitar 11 juta ton per tahun.
- PT QMB
Progresnya juga masih konstruksi. Perkiraan memproduksi sekitar 136 ribu ton per tahun NiSO4 dengan kebutuhan bijih nikel sekitar 5 juta ton per tahun.
- PT Halmahera Persada Lygend
Sudah beroperasi sejak Rabu, 23 Juni 2021. Adapun target produksi yaitu sekitar 246 ribu ton per tahun NiSO4 dan sekitar 32 ribu ton per tahun CoSO4 dengan perkiraan kebutuhan bijih nikel sekitar 8,3 juta ton per tahun.
- PT Smelter Nickel Indonesia
Saat ini tengah proses konstruksi. Ditargetkan memproduksi MHP sekitar 76 ribu ton per tahun dan diperkirakan membutuhkan bijih nikel sekitar 2,4 juta ton per tahun.
- PT Gebe Industry Nickel
Saat ini statusnya sudah mulai operasi. Ditargetkan memproduksi 21 ribu ton per tahun MHP dan membutuhkan bijih nikel sekitar 1,32 juta ton per tahun.
Sejumlah proyek bahan baku baterai RI ini bahkan disebut menjadi ancaman dunia. Kenapa begitu?
Steven Brown, praktisi industri nikel, dalam diskusi secara daring belum lama ini mengatakan, produksi nikel selama ini terus bertambah dalam beberapa tahun terakhir, sesuai dengan pertumbuhan permintaan. Alhasil, sampai saat ini tidak terjadi kekurangan pasokan nikel.
“Gak ada kekurangan nikel saat ini, malah masih surplus, sedikit kelebihan produksi dari demand,” ujarnya.
Namun sayangnya, lanjutnya, penambahan produksi nikel ini hanya terjadi di Indonesia. Sementara produksi di luar negeri malah mengalami penurunan. Kondisi ini merupakan hal baik bagi Indonesia, namun menurutnya ini akan menjadi ancaman bagi pihak luar.
“Tapi pertumbuhan dalam nikel hanya terjadi di Indonesia, di luar malah turun, dan ini baik untuk Indonesia, tapi untuk pengguna nikel di luar, ini menjadi ancaman,” ucapnya.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat pada 2020 sumber daya bijih nikel RI mencapai 8,26 miliar ton dengan kadar 1%-2,5%, di mana kadar kurang dari 1,7% sebesar 4,33 miliar ton, dan kadar lebih dari 1,7% sebesar 3,93 miliar ton.
Adapun cadangan bijih nikel mencapai 3,65 miliar ton untuk kadar 1%-2,5%, di mana cadangan bijih nikel dengan kadar kurang dari 1,7% sebanyak 1,89 miliar ton dan bijih nikel dengan kadar di atas 1,7% sebesar 1,76 miliar ton.
Sumber: Scientia