Pengamat energi Satya Hangga Yudha Widya Putra mengatakan mobil listrik merupakan masa depan industri otomotif sekaligus jawaban pemanfaatan energi ramah lingkungan di Indonesia.
“Tidak salah kalau Indonesia mulai mengambil sikap untuk mengembangkan kendaraan listrik secara lebih masif,” katanya dikutip dari Antara.
Hangga, yang juga pendiri Indonesian Energy and Environmental Institute (IE2I), mengatakan mobil listrik merupakan salah satu cara mengurangi polusi karena lebih hemat energi dibanding mobil berbahan bakar fosil.
Menurut dia, Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki ketergantungan terhadap bahan bakar fosil dalam memproduksi energi listrik.
“(Sebanyak) 87 persen penghasilan listrik Indonesia dihasilkan dari bahan bakar fosil, yaitu batu bara, minyak, dan gas,” katanya.
Oleh karena itu, Hangga mengatakan pentingnya Indonesia beralih ke transportasi yang digerakkan energi listrik untuk menggantikan fosil.
Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan Kementerian Perindustrian Putu Juli Ardika mengatakan Kementerian Perindustrian telah berupaya membangun industri pembuatan baterai mobil listrik di Indonesia.
“Bahan baku baterai mobil listrik didominasi nikel dan Indonesia salah satu penghasil nikel terbesar di dunia,” jelas dia.
Ia menambahkan meski masih terbatas, fasilitas pengisian baterai sudah terdapat di sejumlah lokasi. “Saat ini, untuk motor listrik sudah ada fasilitas pengisian baterai. Masalah utama kendaraan listrik memang dalam hal pengisian,” ujar Putu Juli.
Pengembangan Bahan Baku Baterai Kendaraan Listrik
Indonesia akan segera mengoperasikan industri bahan baku baterai mobil listrik pertama yang tengah dibangun di Maluku Utara (Malut) tepatnya di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel).
Industri yang sedang dibangun Harita Nickel itu, direncanakan mulai berproduksi pada akhir 2020. Pabrik ini diklaim sebagai yang pertama beroperasi di Indonesia, sehingga menjadi kebanggan tersendiri bagi daerah itu.
Kepala Dinas Energi dan Sumber daya Mineral (ESDM), Hasyim Daeng Barang menambahkan teknologi pengolahan dan pemurnian mineral dengan proses hidrometalurgi akan sangat menguntungkan dalam konservasi sumber daya alam, khususnya nikel.
Selama ini, smelter yang ada di Indonesia menyerap nikel kadar tinggi 1,7 ke atas. Sedangkan proses hidrometalurgi yang dikembangkan oleh Harita di Obi, menggunakan nikel kadar rendah di bawah 1,7.
Industri baru ini akan membutuhkan 1.920 orang tenaga kerja profesional, belum termasuk kontraktor dan industri pendukung lainnya.
Industri ini diharapkan segera berproduksi sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Hal ini sangat membantu perekonomian secara umum yang terpuruk akibat pandemi Covid 19.
–
Sumber: medcom.id